Rabu, 13 Mei 2015

Istihsan


Dalil dan Metode Penggalian Hukum
yang Diperselisihkan Ulama
‘’ISTIHSAN’’
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ‘’Ushul Fiqh’’

unduhan.jpg 

Disusun oleh :
Mambaul Muflikah     (210514032)

Dosen pengampu :
Isnatin Ulfah, M.H.I

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
APRIL 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber-sumber hukum di Islam disebut mashadir al-ahkam yang jumlahnya cukup banyak, sebagian sudah disepakati dan yang lain masih diperselisihkan. Yang disepakati ada empat, yaitu al-qur’an, sunnah, ijma’dan qiyas, sedangkan yang diperselisihkan ada tujuh yaitu, madzhab shahabi, istihsan, maslahah mursalah, sadd aldzarai, al-‘urf, istishab dan syar’ man qablana.
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para ulama, meskipun dalam kenyataannya semua ulama menggunakannya secara praktis. Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa), yaitu” berbuat sesuatu yang baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dan mendefinisikan’’istihsan”. Maka dari itu di makalah ini akan dibahas lebih jelasnya lagi tentang istihsan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian istihsan?
2.      Dimana posisi istihsan sebagai sumber hukum?
3.      Bagaimana kehujjahan istihsan?
4.      Sebutkan  macam-macam istihsan?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian istihsan.
2.      Untuk mengetahui posisi istihsan.
3.      Untuk mungetahui kehujjahan istihsan.
4.      Untuk mengetahui macam-macam istihsan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti menganggap atau menyakini baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah istihsan mempunyai banyak definisi, dua diantaranya yaitu:
Pertama, definisi yang diungkapkan oleh Abu al-Hasan al-Karkhi dari madzhab Hanafi dan merupakan definisi yang paling jelas daalam mengartikan hakikat istihsan, yaitu:
ان يعدل المجتهد عن ان يحكم فى المسئلة بمثل ما حكم به فى نظائر ها لوجه أقوى يقتضى العدول عن الاوّل.
’mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan pada hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.’’
Kedua, definisi yang dikemukakan oleh usuliyyun, yaitu:
هو ترجيح قياس خفيّ على قياس جليّ بدليل, أو استثناء حكم جزئيّ من اصل كليّ أوقاعدة عامّة , بناء على دليل خاص يقتضى ذلك.
’mengunggulkan qiyas khafi atas qiyas jali karena berdasar suatu dalil, ataupun mengecualikan hukun juz’i dari dalil kulli atau ini kaidah umum dengan berdasarkan suatu dalil khusus yang menghendaki hal tersebut.’’
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa istihsan mempunyai tiga karakteristik, yaitu:
a.      Beralih dari apa yang dituntut qiyas zhahir (qiyas jali) kepada apa yang dikehendaki qiyas khafi.
b.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
Jenis pertama dinamakan istihsan qiyasi, sedangkan jenis kedua dan ketiga dinamakan istihsan yang mencangkup istihsan bi al-nash, al-dharurah, al-urf, al-maslahah dan al-ijma’.
Dan dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa, semua Usuliyyun dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah bersepakat bahwa yang dinamakan istihsan yaitu berpindah dari satu hukum lain disebagian peristiwa, mereka juga bersepakat bahwa semua proses tersebut harus bersandar pada dalil syar’i baik berupa nash, rasionalitas nash, dan dalil-dalil inilah yang dinamakan sandaran istihsan.[1]
B.     Posisi istihsan
Dalil-dalil syar’i yang berdasarkan kemandiriannya dalam menetapkan hukum dibagi menjadi tiga macam. Yaitu pertama, adillah ashliyah(dalil-dalil pokok), yaitu dalil-dalil yang digunakan menetapkan hukum dengan dirinya sendiri tanpa bantuan dalil lain. Ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’. Kedua,  adillah far’iyah (dalil-dalil cabang), yaitu dalil-dalil yang digunakan untuk menggali hukum dengan bersandar pada adillah ashliyah. Ada tiga, yaitu Qiyas, ‘urf dan maslahah mursalah. Ketiga, adillah ihthiyathiyah( dalil-dalil untuk berhati-hati), yaitu dalil-dalil yang tidak bisa di pakai kecuali dalam kasus-kasus pengecualian dan ketika tidak ditemukan adillah ashliyah maupun adillh far’iyah. Ada lima, adakalanya bersifat naqli yaitu qawl shahabi dan syar’ man qablana, adakalanya bersifat aqli yaitu istihsan, istishab, dan sadd dzarai’. Sehingga keberadaan istihsan merupakan dalil alternatif untuk berhati-hati.[2]
C.    Kehujjahan Istihsan
Tentang kehujjahan istihsan, terdapat dua pendapat:
pertama, istihsan merupakan hujjah syar’iyah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Kelompok ini berargumen bahwa saat menetapkan istihsan, tidak berarti sang mujtahid membebaskan akal logika tanpa batasan yang jelas, setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi dalami proses istihsan pertama, tidak adanya nash sharih dalam kasus tersebut dan kedua, adanya sandaran yang kuat atas istihsan.
                Kedua, istihsan tidak merupakan hujjah syar’iyah. Pendapat ini dipegangi oleh syafi’iyah dan zhahiriyah. Kelompok ini menolak istihsan dengan alasan untuk berhati-hati dan khawatir apabila terlalu mementingkan logika dan menuruti hawa nafsu dari pada nash yang ada.[3] Bagi al-Syafi’i, seluruh rangkaian pemberian hukum atau fatwa harus berdasarkan teks al-Qur’an dan sunnah atau perkataan ahli ilmu pengetahuan yang disepakati bersama atau qiyas untuk menganalogikan ketentuan hukum yang satu dengan yang lain.[4]
               Walaupun sangat keras dalam menolak istihsan, tetapi dalam beberapa kasus Imam Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas dan menggunakan istihsan. Diantaranya:
1.      Menetapkan kadar mut’ah demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takut istri akibat perceraian. Beliau beristihsan dan memberikan batasan tigapuluh dirham. Beliau mengatakan:’’Saya tidak mengetahui kadar tertentu dalam pemberian mut’ah, akan tetapi saya memandang baik jika kadarnya tiga puluh dirham, berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar.”
2.      Istihsan beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:’’Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya(saat adzan).’’ Hal ini dilandaskan pada perbuatan sahabat Bilal r.a yang melakukannya di hadapan Nabi SAW.
Keberadaan kasus-kasus tersebut dikarenakan di dalam madzhab Syafi’i sendiri terdapat dua macam istihsan:
1.      Istihsan yang diperselisihkan, yaitu yang tidak berdasarkan dalil.
2.      Istihsan yang diperhitungkan, yaitu istihsan yang berdasar pada dalil yang nyata.
Bila kedua hal di atas berupa pengingkaran dan penggunaan Imam Syafi’i terhadap istihsan dicermati, maka semakin menegaskan bahwa istihsan yang diingkari Syafi’i adalah istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu saja dan tidak didasarkan pada dalil syar’i.[5]
D.    Macam-macam Istihsan
1.      Dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas. Istihsan terbagi menjadi tiga macam:
a). Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir(qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
Contoh: Dalam kasus mewakafkan tanah pertanian, maka yang diwakafkannya itu termasuk hak perairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan wakaf itu kepada sewa-menyewa yaitu pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian halnya dengan waqaf, yang penting pada waqaf adalah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika wakaf itu diqiyaskan dengan jual beli maka tujuan wakaf tidak akan tercapai karena dalam jual beli diutamakan pemindahan hak milik, maka dari itu perlu dicari asal yang lain yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan illatnya yaitu yang diutamakan manfaat barang, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan wakaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi.[6]
b). Beralih dari ketentuan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
Contoh: Penerapan sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum dalam nash Al-Qur’an, sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah (5):37:
والساّرق والساّرقة فا قطعوا أيديهما.....
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan keduanya.
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan memenuhi syarat untuk dikenai hukuman potong tangan, maka  berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada msa peceklik atau kelaparan, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri (dibebaskan dari hukuman potong tangan),  karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum kepada hukum khusus disebut istihsan.
c). Beralihnya ketentuan dari hukum kulli kepada ketentuan hukum pengecualian.
Contoh: Wakaf dilakukan oleh orang yang berada di bawah pewalian karena belum dewasa. Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli tidak boleh melakukan wakaf karena ia tidak berwenang melakukan kebajikan dengan hartanya. Berdasarkan pendekatan  istihsan, ketentuan ini dikecualikan ila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya sesuai  dengan  tujuan adanya perwalian yang hakikatnya adalah melindungi harta orang yang dalam perwalian.[7]
2.      Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi empat macam:
a.       Istihsan dengan qiyas khafi.
Istihsan dengan qiyas khafi yaitu istihsan berupa meninggalkan qiyas jali untuk memilih qiyas khafi disebabkan lebih kuat pengaruhnya.
Contoh: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan oleh istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ketempat minumnya. Namun berdasarkan pendekatan istihsan dengan menggunakan qiyas khafi sebagai sandaran, bahwa mulut binatang buas dengan burung buas itu berbeda. Mulut binatang buas itu terdiri dari daging yang haram dimakan, sedangkan mulut burung buas terdiri atas tulang atau zat tanduk yang bukan merupakan najis, meskipun dagingnya burung buas haram dimakan, namun daging burung buas yang kotor itu tidak bersentuhan dengan hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena burung buas itu minum dengan paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor. Berdasarkan keadaan inilah mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena menemukan qiyas yang lain meski qiyas itu memiliki kelemahan, namun pengaruhnya dalam kemaslahatan lebih tinggi.[8]
1.      Istihsan dengan nash.
Istihsan dengan nash yaitu berpindah dari ketentuan hukum qiyas dalam suatu kasus menuju hukum yang berbeda dengannya dengan berdasarkan nash. Nash tersebut adakalanya dari al-Qur’an atau al-Hadits.
Contoh istihsan dengan nash al-Qur’an yaitu wasiat. Menurut ketentuan qiyas atau kaidah umum adalah tidak boleh. Tetapi kasus ini dikecualikan dari kaidah umumnya dengan berlandaskan firman Allah surat al-Nisa:12
Contoh istihsan dengan nash al-Hadits yaitu  akad al-salam. Berdasarkan kaidah umum jual beli akad al-salam tidak sah dikarenakan tidak adanya barang yang dijual, tetapi kasus ini dikecualikan dari kaidah umumnya dengan berdasar dalil khusus berupa hadits Nabi saw.
2.      Istihsan dengan ‘urf
Istihsan dengan ‘urf yaitu meninggalkan ketentuan qiyas ataupun kaidah umum karena suatu tradisi atau kebiasaan yang sudah dikenal dan berlaku di masyarakat.
Contoh: Penggunaan kamar mandi umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam bentuk tanda masuk tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas akad ini tidak dibenarkan, tetapi berdasarkan istihsan, hal ini diperbolehkan karena mempertimbangkan kebutuhan hajat manusia.[9]
3.      Istihsan dengan kedaruratan.
 Istihsan dengan kedaruratan yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas demi mengambil ketentuan kondisi darurat tersebut untuk mencegahnya.
Contoh: mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis tidak mungkin dilakukan jika tetap berpegang pada dalil qiyas. Dalam hubungan ini, pengarang ‘’kasyful asrar’’, menerangkan,’’untuk mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan cara menuangkan air kedalamnya. Air yang masuk ke dalam kolam akan menjadi najis lantaran bersentuhan dengan najis, timba yang dipakainya pun juga najis. Demikianlah seterusnya saling terkait, hingga semuanya menjadi najis. Kemudian para ulama mengajukan alternatif dengan cara menguras air sumur itu sampai beberapa timba, yang dianggap bercampur najis karena kondisi darurat.[10]










BAB III
KESIMPULAN
A.    Pengertian Istihsan
Istihsan secara bahasa berarti menganggap atau menyakini baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah berpindah dari satu hukum lain disebagian peristiwa dan bersandar pada dalil syar’i.
B.     Posisi istihsan
 Istihsan merupakan dalil alternatif untuk berhati-hati.
C.    Kehujjahan Istihsan
            Istihsan merupakan hujjah syar’iyah, dan yang harus dipenuhi dalami proses istihsan didasarkan  pada adalah nash sharih, adanya sandaran yang kuat atas istihsan dan tidak berlandaskan hawa nafsu.
D.    Macam-macam Istihsan
1.    Dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, Istihsan terbagi menjadi tiga macam:
a. Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir(qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
b. Beralih dari ketentuan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
c.  Beralihnya ketentuan dari hukum kulli kepada ketentuan hukum pengecualian.
2.    Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi empat macam:
a.       Istihsan dengan qiyas khafi.
b.      Istihsan dengan nash.
c.       Istihsan dengan ‘urf.
d.      Istihsan dengan kedaruratan.

DAFTAR PUSTAKA
Shaleh, Abdul Mun’im. Miftaqurrahman. Istihsan dalam Madzhab Syafi’i. Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2012.
Yasid, Abu.  Aspek-aspek Penelitian Hukum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Umar, Muin. Ushul fiqh. Jakarta: Mon Mata’s Printing, 1985.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum. Dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.






[1] A. Mun’im Shaleh dan Miftaqurrahman, Istihsan dalam Madzhab Syafi’i (Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2012), 18-19.
[2] Ibid., 22-23.
[3] Ibid., 23.
[4] Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 44.
[5] Shaleh, Istihsan, 26.
[6] Muin Umar, Ushul fiqh (Jakarta: Mon Mata’s Printing, 1985), 144-145.
[7] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 9-10.
[8] Ibid., 11.
[9] Shaleh, Istihsan, 28.
[10] M. Abu Zahra, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010), 409.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar