Dalil
dan Metode Penggalian Hukum
yang
Diperselisihkan Ulama
‘’ISTIHSAN’’
Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah ‘’Ushul Fiqh’’
Disusun oleh :
Mambaul Muflikah (210514032)
Dosen pengampu :
Isnatin Ulfah, M.H.I
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
APRIL 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber-sumber hukum di Islam disebut
mashadir al-ahkam yang jumlahnya cukup banyak, sebagian sudah disepakati
dan yang lain masih diperselisihkan. Yang disepakati ada empat, yaitu al-qur’an,
sunnah, ijma’dan qiyas, sedangkan yang diperselisihkan ada tujuh yaitu, madzhab
shahabi, istihsan, maslahah mursalah, sadd aldzarai, al-‘urf, istishab dan syar’ man qablana.
Istihsan termasuk salah satu metode ijtihad yang diperselisihkan oleh para
ulama, meskipun dalam kenyataannya semua ulama menggunakannya secara praktis.
Pada dasarnya, para ulama menggunakan istihsan dalam arti lughawi (bahasa),
yaitu” berbuat sesuatu yang baik”. Tetapi dalam pengertian istilahnya (yang
biasa berlaku), para ulama berbeda pendapat disebabkan oleh perbedaan dalam
memahami dan mendefinisikan’’istihsan”. Maka dari itu di makalah ini
akan dibahas lebih jelasnya lagi tentang istihsan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian istihsan?
2.
Dimana
posisi istihsan sebagai sumber hukum?
3.
Bagaimana
kehujjahan istihsan?
4.
Sebutkan macam-macam istihsan?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui pengertian istihsan.
2.
Untuk
mengetahui posisi istihsan.
3.
Untuk
mungetahui kehujjahan istihsan.
4.
Untuk
mengetahui macam-macam istihsan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istihsan
Istihsan secara bahasa
berarti menganggap atau menyakini baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut
istilah istihsan mempunyai banyak definisi, dua diantaranya yaitu:
Pertama,
definisi yang diungkapkan oleh Abu al-Hasan al-Karkhi dari madzhab Hanafi dan
merupakan definisi yang paling jelas daalam mengartikan hakikat istihsan,
yaitu:
ان
يعدل المجتهد عن ان يحكم فى المسئلة بمثل ما حكم به فى نظائر ها لوجه أقوى يقتضى
العدول عن الاوّل.
‘’mengeluarkan
hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada
hukum lain karena didasarkan pada hal lain yang lebih kuat dalam pandangan
mujtahid.’’
Kedua,
definisi yang dikemukakan oleh usuliyyun, yaitu:
هو
ترجيح قياس خفيّ على قياس جليّ بدليل, أو استثناء حكم جزئيّ من اصل كليّ أوقاعدة
عامّة , بناء على دليل خاص يقتضى ذلك.
‘’mengunggulkan
qiyas khafi atas qiyas jali karena berdasar suatu dalil, ataupun mengecualikan
hukun juz’i dari dalil kulli atau ini kaidah umum dengan berdasarkan suatu
dalil khusus yang menghendaki hal tersebut.’’
Dari
definisi di atas, dapat diketahui bahwa istihsan mempunyai tiga
karakteristik, yaitu:
a.
Beralih
dari apa yang dituntut qiyas zhahir (qiyas jali) kepada apa yang
dikehendaki qiyas khafi.
b.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
c.
Beralih
dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian.
Jenis
pertama dinamakan istihsan qiyasi, sedangkan jenis kedua dan ketiga dinamakan
istihsan yang mencangkup istihsan bi al-nash, al-dharurah,
al-urf, al-maslahah dan al-ijma’.
Dan
dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa, semua Usuliyyun
dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah
bersepakat bahwa yang dinamakan istihsan yaitu berpindah dari satu hukum
lain disebagian peristiwa, mereka juga bersepakat bahwa semua proses tersebut
harus bersandar pada dalil syar’i baik berupa nash, rasionalitas
nash, dan dalil-dalil inilah yang dinamakan sandaran istihsan.[1]
B.
Posisi istihsan
Dalil-dalil syar’i
yang berdasarkan kemandiriannya dalam menetapkan hukum dibagi menjadi tiga
macam. Yaitu pertama, adillah ashliyah(dalil-dalil pokok), yaitu
dalil-dalil yang digunakan menetapkan hukum dengan dirinya sendiri tanpa
bantuan dalil lain. Ada tiga, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’.
Kedua, adillah far’iyah
(dalil-dalil cabang), yaitu dalil-dalil yang digunakan untuk menggali hukum
dengan bersandar pada adillah ashliyah. Ada tiga, yaitu Qiyas, ‘urf
dan maslahah mursalah. Ketiga, adillah ihthiyathiyah( dalil-dalil
untuk berhati-hati), yaitu dalil-dalil yang tidak bisa di pakai kecuali dalam
kasus-kasus pengecualian dan ketika tidak ditemukan adillah ashliyah
maupun adillh far’iyah. Ada lima, adakalanya bersifat naqli yaitu
qawl shahabi dan syar’ man qablana, adakalanya bersifat aqli
yaitu istihsan, istishab, dan sadd dzarai’.
Sehingga keberadaan istihsan merupakan dalil alternatif untuk
berhati-hati.[2]
C.
Kehujjahan Istihsan
Tentang kehujjahan istihsan, terdapat dua pendapat:
pertama, istihsan merupakan hujjah syar’iyah. Pendapat ini
dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Kelompok ini berargumen
bahwa saat menetapkan istihsan, tidak berarti sang mujtahid membebaskan
akal logika tanpa batasan yang jelas, setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi
dalami proses istihsan pertama, tidak adanya nash sharih dalam
kasus tersebut dan kedua, adanya sandaran yang kuat atas istihsan.
Kedua, istihsan tidak merupakan hujjah syar’iyah. Pendapat
ini dipegangi oleh syafi’iyah dan zhahiriyah. Kelompok ini menolak istihsan
dengan alasan untuk berhati-hati dan khawatir apabila terlalu mementingkan
logika dan menuruti hawa nafsu dari pada nash yang ada.[3]
Bagi al-Syafi’i, seluruh rangkaian pemberian hukum atau fatwa harus berdasarkan
teks al-Qur’an dan sunnah atau perkataan ahli ilmu pengetahuan yang disepakati
bersama atau qiyas untuk menganalogikan ketentuan hukum yang satu dengan yang
lain.[4]
Walaupun sangat keras dalam menolak istihsan, tetapi dalam beberapa
kasus Imam Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan qiyas
dan menggunakan istihsan. Diantaranya:
1.
Menetapkan
kadar mut’ah demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takut istri
akibat perceraian. Beliau beristihsan dan memberikan batasan tigapuluh dirham.
Beliau mengatakan:’’Saya tidak mengetahui kadar tertentu dalam pemberian
mut’ah, akan tetapi saya memandang baik jika kadarnya tiga puluh dirham,
berdasarkan riwayat dari Ibn ‘Umar.”
2.
Istihsan
beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat
mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan:’’Bagus jika ia (muadzin) meletakkan
kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya(saat adzan).’’ Hal ini dilandaskan
pada perbuatan sahabat Bilal r.a yang melakukannya di hadapan Nabi SAW.
Keberadaan
kasus-kasus tersebut dikarenakan di dalam madzhab Syafi’i sendiri terdapat dua
macam istihsan:
1.
Istihsan
yang diperselisihkan, yaitu yang tidak berdasarkan dalil.
2.
Istihsan
yang diperhitungkan, yaitu istihsan yang berdasar pada dalil yang nyata.
Bila
kedua hal di atas berupa pengingkaran dan penggunaan Imam Syafi’i terhadap
istihsan dicermati, maka semakin menegaskan bahwa istihsan yang diingkari
Syafi’i adalah istihsan yang hanya berlandaskan hawa nafsu saja dan tidak
didasarkan pada dalil syar’i.[5]
D.
Macam-macam Istihsan
1.
Dari
segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas. Istihsan terbagi
menjadi tiga macam:
a).
Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir(qiyas jali)
kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
Contoh:
Dalam kasus mewakafkan tanah pertanian, maka yang diwakafkannya itu
termasuk hak perairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan. Menurut qiyas jali hak-hak
tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual
beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual
kepada pembeli. Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan wakaf itu kepada sewa-menyewa yaitu pemindahan hak memperoleh
manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian halnya dengan
waqaf, yang penting pada waqaf adalah agar barang yang diwaqafkan itu dapat
dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika wakaf itu diqiyaskan dengan jual beli maka tujuan wakaf tidak
akan tercapai karena dalam jual beli diutamakan pemindahan hak milik, maka dari
itu perlu dicari asal yang lain yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada
persamaan illatnya yaitu yang diutamakan manfaat barang, tetapi qiyasnya adalah
qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan wakaf, maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi.[6]
b). Beralih dari ketentuan nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus.
Contoh: Penerapan
sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut ketentuan umum berdasarkan dalil umum
dalam nash Al-Qur’an, sanksinya adalah potong tangan, sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Maidah (5):37:
والساّرق والساّرقة فا قطعوا أيديهما.....
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan
keduanya.
Berdasarkan ayat tersebut, bila seseorang melakukan pencurian dan
memenuhi syarat untuk dikenai hukuman potong tangan, maka berlaku baginya hukuman potong tangan. Namun
bila pencurian itu dilakukan pada msa peceklik atau kelaparan, maka hukum
potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan bagi si pencuri
(dibebaskan dari hukuman potong tangan),
karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Beralihnya dari hukum umum
kepada hukum khusus disebut istihsan.
c). Beralihnya
ketentuan dari hukum kulli kepada ketentuan hukum pengecualian.
Contoh: Wakaf
dilakukan oleh orang yang berada di bawah pewalian karena belum dewasa.
Berdasarkan ketentuan yang bersifat kulli tidak boleh melakukan wakaf
karena ia tidak berwenang melakukan kebajikan dengan hartanya. Berdasarkan
pendekatan istihsan, ketentuan
ini dikecualikan ila wakaf itu dilakukan terhadap dirinya sendiri. Meskipun ia
tidak memiliki wewenang berbuat kebajikan dengan hartanya, namun dengan
melakukan wakaf bagi dirinya sendiri, ia dapat menyelamatkan hartanya
sesuai dengan tujuan adanya perwalian yang hakikatnya
adalah melindungi harta orang yang dalam perwalian.[7]
2.
Ditinjau
dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan
oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi empat macam:
a.
Istihsan
dengan qiyas khafi.
Istihsan dengan qiyas khafi yaitu istihsan berupa
meninggalkan qiyas jali untuk memilih qiyas khafi disebabkan
lebih kuat pengaruhnya.
Contoh: sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak
dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan oleh istihsan.
Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas adalah haram diminum
karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu
diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ketempat minumnya. Namun berdasarkan pendekatan
istihsan dengan menggunakan qiyas khafi sebagai sandaran, bahwa mulut
binatang buas dengan burung buas itu berbeda. Mulut binatang buas itu terdiri
dari daging yang haram dimakan, sedangkan mulut burung buas terdiri atas tulang
atau zat tanduk yang bukan merupakan najis, meskipun dagingnya burung buas
haram dimakan, namun daging burung buas yang kotor itu tidak bersentuhan dengan
hanya menyatu dalam air liurnya yang tidak bersentuhan dengan air, karena
burung buas itu minum dengan paruhnya, sedangkan paruhnya tidak kotor. Berdasarkan
keadaan inilah mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena menemukan qiyas
yang lain meski qiyas itu memiliki kelemahan, namun pengaruhnya dalam
kemaslahatan lebih tinggi.[8]
1.
Istihsan
dengan nash.
Istihsan dengan nash
yaitu berpindah dari ketentuan hukum qiyas dalam suatu kasus menuju
hukum yang berbeda dengannya dengan berdasarkan nash. Nash
tersebut adakalanya dari al-Qur’an atau al-Hadits.
Contoh
istihsan dengan nash al-Qur’an
yaitu wasiat. Menurut ketentuan qiyas atau kaidah umum adalah tidak
boleh. Tetapi kasus ini dikecualikan dari kaidah umumnya dengan berlandaskan
firman Allah surat al-Nisa:12
Contoh
istihsan dengan nash al-Hadits
yaitu akad al-salam. Berdasarkan
kaidah umum jual beli akad al-salam tidak sah dikarenakan tidak adanya
barang yang dijual, tetapi kasus ini dikecualikan dari kaidah umumnya dengan
berdasar dalil khusus berupa hadits Nabi saw.
2.
Istihsan
dengan ‘urf
Istihsan dengan ‘urf
yaitu meninggalkan ketentuan qiyas ataupun kaidah umum karena suatu tradisi
atau kebiasaan yang sudah dikenal dan berlaku di masyarakat.
Contoh: Penggunaan kamar mandi umum, biasanya dikenai biaya tertentu dalam
bentuk tanda masuk tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan.
Secara qiyas akad ini tidak dibenarkan, tetapi berdasarkan istihsan,
hal ini diperbolehkan karena mempertimbangkan kebutuhan hajat manusia.[9]
3.
Istihsan
dengan kedaruratan.
Istihsan dengan kedaruratan yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas demi mengambil
ketentuan kondisi darurat tersebut untuk mencegahnya.
Contoh: mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis tidak mungkin
dilakukan jika tetap berpegang pada dalil qiyas. Dalam hubungan ini,
pengarang ‘’kasyful asrar’’, menerangkan,’’untuk mensucikan kolam atau
sumur yang terkena najis, tidaklah mungkin dengan cara menuangkan air
kedalamnya. Air yang masuk ke dalam kolam akan menjadi najis lantaran
bersentuhan dengan najis, timba yang dipakainya pun juga najis. Demikianlah
seterusnya saling terkait, hingga semuanya menjadi najis. Kemudian para ulama
mengajukan alternatif dengan cara menguras air sumur itu sampai beberapa timba,
yang dianggap bercampur najis karena kondisi darurat.[10]
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian Istihsan
Istihsan secara bahasa
berarti menganggap atau menyakini baik terhadap sesuatu. Sedangkan menurut
istilah berpindah dari satu hukum lain disebagian peristiwa dan bersandar pada
dalil syar’i.
B.
Posisi istihsan
Istihsan merupakan dalil alternatif
untuk berhati-hati.
C.
Kehujjahan Istihsan
Istihsan merupakan hujjah syar’iyah, dan yang harus dipenuhi dalami
proses istihsan didasarkan pada
adalah nash sharih, adanya sandaran yang kuat atas istihsan dan
tidak berlandaskan hawa nafsu.
D.
Macam-macam Istihsan
1.
Dari
segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, Istihsan terbagi
menjadi tiga macam:
a.
Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir(qiyas jali)
kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi.
b.
Beralih dari ketentuan nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus.
c. Beralihnya ketentuan dari hukum kulli
kepada ketentuan hukum pengecualian.
2.
Ditinjau
dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan
oleh mujtahid, istihsan terbagi menjadi empat macam:
a.
Istihsan
dengan qiyas khafi.
b.
Istihsan
dengan nash.
c.
Istihsan
dengan ‘urf.
d.
Istihsan
dengan kedaruratan.
DAFTAR PUSTAKA
Shaleh, Abdul Mun’im.
Miftaqurrahman. Istihsan dalam Madzhab Syafi’i. Ponorogo: STAIN PO
PRESS, 2012.
Yasid,
Abu. Aspek-aspek Penelitian Hukum.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Umar,
Muin. Ushul fiqh. Jakarta: Mon Mata’s Printing, 1985.
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqh,
terj. Saefullah Ma’sum. Dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.
[1]
A. Mun’im Shaleh dan Miftaqurrahman, Istihsan dalam Madzhab Syafi’i
(Ponorogo: STAIN PO PRESS, 2012), 18-19.
[2] Ibid., 22-23.
[3] Ibid.,
23.
[4] Abu
Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),
44.
[5] Shaleh, Istihsan,
26.
[6] Muin
Umar, Ushul fiqh (Jakarta: Mon Mata’s Printing, 1985), 144-145.
[7] Amir
Syarifudin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 9-10.
[8] Ibid.,
11.
[9] Shaleh, Istihsan,
28.
[10] M. Abu
Zahra, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma’sum, dkk (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2010), 409.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar